Peningkatan Kompetensi Sarjana Teknik dalam Menyambut MEA

Insinyur as knowledge an Engineer
Insinyur as knowledge an Engineer
Per 31 Desember 2015 secara resmi berlaku masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) atau  disebut juga ASEAN Economic Community (AEC), adalah sebuah intergrasi ekonomi ASEAN dalam mengahadapi perdagangan bebas antarnegara-negara ASEAN. Tidak lain tujuan dibentuknya MEA adalah untuk meningkatkan stabilitas perekonomian dikawasan ASEAN, serta diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah dibidang ekonomi antarnegara ASEAN. Di dalam Blue print MEA menyatakan akan terjadi arus bebas ekonomi setidaknya dari beberapa hal: barang, jasa, investasi, modal dan yang terpenting dalam pembahasan ini adalah skilled labor (tenaga kerja terdidik).

Skilled Labor adalah faktor penting dalam menyambut MEA. Bila boleh dikatakan, maka barang, jasa, investasi dan modal semua dikendalikan oleh skilled labor. Karena itu tenaga keja (SDM) yang mumpuni mutlak dibutuhkan untuk “memenangkan” tujuan indonesia dalam MEA. Pertanyaanya sekarang adalah seberapa siap SDM Indonesia?

Jikalau kita jadikan GDP sebagai tolak ukur kualitas skilled labor Indonesia dalam mengendalikan barang, jasa, investasi, dan modal maka kita dapat katakan kualitas skilled labor Indonesia masih jauh dibawah tiga negara penghuni kasta teratas yaitu: Singapura, Malaysia, dan Thailand. Berdasarkan Human Development Index yang dikeluarkan oleh UNDP pada tahun 2011 menunjukan bahwa indonesia hanya menempati posisi 124 dari 187 negara yang disurvei. Tertinggal jauh dari Singapura (26), Brunei (33), Malaysia (61) dan Thailand (103).

Dengan berlakunya MEA maka akan membuka peluang skilled labor negara tetangga berkarir ditanah air, begitu pula sebaliknya. Skilled labor mememiki pengertian tersendiri yaitu  tenaga terdidik yang mempunyai kemampuan khusus yang tersertifikasi, lulus uji kompetensi dan telah diakui. Skilled labor yang dimaksudkan seperti: dokter, perawat, akuntan, guru dan engineer. Hal ini berarti Indonesia dituntut penuh untuk memperbaiki SDMnya guna meningkatkan daya saing agar 40% pasar ASEAN tidak jatuh ke tangan negera lain.

Langkah tepat dilakukan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) adalah dengan mengesahkan UU No. 11 Tahun 2014. Undang-undang ini disusun guna untuk meningkatkan kompetensi sarjana teknik yang berkiprah di dunia keinsinyuran. Diharapkan undang-undang ini menjadi salah satu langkah efektif untuk meningkatkan daya saing sarjana teknik di dunia kerja nantinya. Jika biasanya untuk mendapatkan gelar sarjana teknik dibutuhkan kurun waktu 4 tahun, mulai tahun 2015  seorang sarjana teknik wajib menempuh pendidikan selama 5 tahun untuk mendapatkan gelar insinyur. Seperti yang dikatakan Dekan FTK ITS Prof. Ir. Daniel M Rosyid PhD MRINA, program pendidikan ini lebih berfokus pada pengembangan mahasiswa dilapangan kerja. Masa magang, dijalankan selama minimal enam  hingga delapan bulan. Digelar selama dua semester atau setara dengan 36 SKS. Dari total SKS tersebut, 12 SKS di antaranya dijalani secara tatap muka, 18 SKS untuk magang serta enam SKS lainya untuk sesi dengan industri terkait berupa pembuatan teknikal memorandum.

Sarjana Teknik Belum  Tentu  Insinyur

Sarjana teknik belum  tentu  insinyur. Insinyur berasal dari bahasa Belanda ingenieur gelar akademik dari perguruan tinggi lingkup teknologi pada zaman Belanda, seperti Falculteit van Landbouwwetenschap (berdiri tahun 1940, sekarang IPB) di Bogor dan de Technische Hogeschool te Bandoeng (THS Bandoeng berdiri 3 Juli 1920, sekarang ITB). Kemudian sampai tahun 1993 ketika menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan keputusan No. 036/U/1993 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi. Menyatakan bahwa semua sarjana teknik diberi gelar akademik Sarjana Teknik yang disingkat S. T. Dengan demikian insinyur tidak lagi merupakan gelar akademik tapi berubah menjadi gelar profesi. Sementara S. Ked baru bisa menyebut dirinya Dokter setelah lulus Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) dari KKI, seorang Sarjana Teknik mendapat gelar profesional setelah lulus sertifikasi atau uji kompetensi dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII).

Belajar dari negara-negara maju, mereka mampu  mencapai kondisi maju dan modern seperti sekarang karena banyakanya sumber daya manusia yang mumpuni dibidang keinsinyuran. Menilik negara yang sedang naik daun dibidang teknologi, Korea Selatan, ada 1.225.000 insinyur yang mengabdi di negara tersebut. Di Indonesia faktanya hari ini hanya memiliki 2.671 insinyur per satu juta penduduk. Dengan kata lain, kini Indonesia memiliki kurang 603.000 insinyur. Jelas hal ini masih dirasa sangat kurang. Mengatasi permasalahan tersebut pemerintah sendiri tengah membangun dua institut teknologi baru yaitu Institute Teknologi Sumatera dan Institut Teknologi Kalimantan.

Tentu kita sangat berharap dengan adanya UU No. 11 Tahun 2014 mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas profesi insinyur di negara kita. Kuantitas, dalam hal memenuhi kebutuhan insinyur untuk menunjang pembangunan bangsa. Kualitas, sehingga kesalahan-kesalahan teknis seperti yang menyebabkan kerusakan jembatan di Kutai, Kalimantan Timur tidak akan  terulang kembali.“Mahasiswa yang telah lulus dari program profesi insinyur ini bisa bekerja diluar negeri minimal di tingkat ASEAN”, ujar Prof. Daniel.

*Rudianto, Mahasiswa Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

Table Manners (Aturan Makan Internasional) ala Negara Eropa, Amerika, Jepang, dan Indoensia

Perhitungan Konstruksi Kapal (Sekat- Sekat dan Gading Kapal)

Pengertian Superintendent Engineering